Senin, 17 Juni 2013

Syarat , rukun dan Akibat hukum talak




MAKALAH

Syarat, Rukun dan Akibat
Hukum Talak


Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Fiqh Munakahat II

Dosen : Dul Manan, S.Ag

Disusun Oleh :

Nama                  : M. Dimyati
NPM                    : 10110012
Jurusan               : Syari’ah
Prodi                   : AHS
Semester             : VI (Enam)                     




 











SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MA’ARIF
METRO LAMPUNG
2013










KATA PENGANTAR




 


Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat melaksanakan tugas mata kuliah Fiqh Munakahat II yang berjudul “Syarat, Rukun dan Akibat Hukum Talak”
Dalam penulisan makalah ini penulis bermaksud untuk memenuhi tugas yang diberikan Dosen. Dan dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya makalah ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada Dosen, apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas  kritik dan saran-saran nya yang sifatnya membangun tentunya.



 



Metro,    April 2013


Penulis
















DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................    i
KATA PENGANTAR.....................................................................................    ii
DAFTAR ISI....................................................................................................    iii
BAB I    PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II   PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A.    Definisi dan Hukum Talak.............................................................. 2
B.     Hukum Talak tanpa Sebab............................................................... 3
C.     Rukun Dan Syarat Talak................................................................. 4
BAB III ........................................................................................................... KESIMPULAN                   13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14



BAB I
PENDAHULUAN

Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan kikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba dimuka bumi ini.
Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatanpernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri. Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan percerain.
Ikatan pernikahanyang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur msalah perceraian ini? Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?
Perpisahan yang diakibatkanoleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang lebih luar daripada perpisahan yang di akibatkan oleh kematian. Untuk itu, kita harus mengetahui beberap masalah yang dibahas  dalam ruang lingkup perceraian terlebih dulu, sebelum kita membahas hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang wanita setelah terjadinnya perpisahan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi dan Hukum Talak
Talak (الطلالق) menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil dari lafazh لاطلاق yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak menurut istilah hukum syara’ adlah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)]
Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tanggan, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai melihat keadaan keduannya, mereka berpendapat bahwa perceraina adalah jalan terbaik bagi keduanya. maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dankeadaan ini hampir sama seperti seorang suami yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti Shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Mesalkan suami mendapati akhlak istinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak menadapatkan harapan dari kebaikan istrinya. hal ini berkaitan dengansikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatka dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘apakah kamu melihat sesuat yang kamu benci dariku?’ ‘tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau menalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar bekata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa’id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
Talak hukumnya menjadi haran, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamanakntalak bid’ah/talah bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.

B.     Hukum Talak tanpa Sebab
Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:
“sesungguhny aiblis singgasananya berada diatas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Diantara mereka ada yang lapor: saya telah melakukan godaan ini. Iblis berkomentar: kamu belum melakukan apa-apa. Datang yang lain melaporkan: saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah berpisah (talak) dengan istrinya. kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata: sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim 2813)
Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda manusia, sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri termasuk diatara perbuatan yang disukai iblis. Iblis menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang berada di atas air dan diatas langit ketujuh.
Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis, karena perceraian memberikan dampak buruk yang dasar bagi kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan kerurunan. Oleh karena itu, salah satu diantra dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman:
(bqßJ¯=yètGuŠsù $yJßg÷YÏB $tB šcqè%Ìhxÿム¾ÏmÎ/ tû÷üt/ ÏäöyJø9$# ¾ÏmÅ_÷ryur
Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya. (QS. Al-Baqarah:102)

C.    Rukun Dan Syarat Talak
Sebagaimana keharusan yang mesti ada pada bentuk-bentuk akad dan transaksi yang lain, untuk keabsahan talak juga mesti memenuhi rukun dan syarat itu, berbeda pengertiannya menurut pakar hukum Islam, namun kensekwensi yang ditimbulkan keduanya apabila tidak terpenyhi dalam hal suatu akad atau transaksi, relative sama, yaitu tidak sahnya akad atau transaksi tersebut.
1.      Rukun Talak
Terjadinya perbedaan pendapat dikalang ulama mengenai penetapan rukun talak. Menurut ulam Hanafiyyah, rukun talak itu adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Kasani sebagai berikut:
فر كن الطلاق هو اللفظ الذي جعل دلالة على معنى الطلاق لغة وهو التخلية ولإر سال ورفع القيد الصر يح وقطع الو صلة ونحوه فى الكناية أو شر عا وهو إز الة حل المحلية فى النو عين أو ما يقو م مقام اللفظ[1]
“Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna talak, baik secara etimologi yaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori lafal-lafal lainnya pada lafal kinayah, atau secara syara’ yang menghilangkan halalnya (“bersenang-sendang” dengan) isteri dalam kedua bentuknya (raj’iy dan ba’in), atau apapun yang menempati posisi lafal.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa rukun talak itu dalam pandangan ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu shighah atau lafal yang menunjukkan pengertian talak, baik secara etimologi, syar’iy maupun apa saja yang menempati posisi lafal-lafal tersebut.
Sedangkan menurut ulam Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:
1.      Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya) ataupun wali, jika ia masih kecil.
2.      Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk  kategori lafal shrih atau lafal kinayah yang jelas.
3.      Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu mensti terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu perenikahan yang sah
4.      Danya lafal, baik bersifat sharih ataupn termasuk kategorilafal kinayah
Adapun menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah, tukun talak itu ada lima, yaitu:
1.      Orang yang menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah seorang mukallaf. Oleh karena iru, talak anak kecil yang belum baligh dan talak orang gila tidak mempunyai kekuatan hukum.
2.      Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi’iyyah membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a.       Lafal yang diucapkan secara shariha dan kinayah. Diantara yang termasuk lafal sharih adalah al-Sarrah, al-Firaq, al-thalaq dan setiap kata yang terambil dari lafal al-thalaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang memiliki beberapa pengertian, seperti seorang suami berkata kepada isterinya: idzhabi (pergilah kamu) atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti itu, sementara suami itu meniatkan menjatuhkan talaknya. Jadi menurut mereka, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami itu baru terakad apabiala diucapkan dengan lafal-lafal yang sharih ataupun lafal kinayah dengan meniakannya untuk menjatuhkan talak.
b.      Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara sharih maupun kinayah, boleh saja melalui isyarat yang di pahami bermakna talak, namun menurut kesepakatan ulama dikalangan Syafi’iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh sorang bisu. Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi kepada sharih dan kinayah. Isyarat sharih adalah isyarat yang dapat dipahami oleh orang banyak, sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah isyarat yang hanya dipahami oleh sebagian orang. Penetapan dapatnya isyarat itu menggantikan kedudukan lafal, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
الإشارة المعهودة للأ خرس كالبيان باللسان[2]
“Isyarat yang biasanya dapat dipahami sama kedudukannya dengan penjelasan melalui lisan bagi orang-orang bisu.”
c.       Talak itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami tersebut menyerahkan (al-fawidh) kepada isterinya utnuk menjatuhkan talaknya. Misalnya seorang suami berkata kepada isterinya: Thalliqi nafsak (talaklah dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab: thallaqtu (aku talakkan), maka talak isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam kasus seperti itu, isteri berkedudukan sebagai tamblik (wakil) dalam menjatuhkan talak.
Jadi dalam pandangan ulama Syafi’iyyah, lafal atau sighah yang merupakan salah satu rukun talak itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan lafal yang sharih atau kinaya, isyarat bagi orang yang bisu baik dengan isyarat yang sharih maupun kinayah, ataupun melalui penyerahan menjatuhkan talak yang dikuasakan oleh seorang suami kepada isterinya.
3.      Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama Syafi’iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang dikeragui cacatnya kesengajaan, yaitu:
a.       Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Thariq, lalu ia memanggilnya dengan ucapan: Ya Thaliq (wahai yang ditalak). Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah ucap) maka talaknya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah ucapannya sehingga kata yang keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal yang secara sharih bermakna talak, maka talaknya dianggap tidak sah.
b.      Ketidak tahuan. Apabila seorang suami mengatakan: “Hai wanita yang ditalak” kepada seorang wanita yang disangkanya isteri orang lain namun ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat Jumhur ulama Syafi’iyyah talak sah. Namun apabila orang ‘ajam (non arab) mengucapkan lafal talak, sementara ia tidak memahami maksudnya maka talak tidak sah.
c.       Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan yang berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya
d.      Adanya unsur paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi ke absahan seluruh bentuk tashurruf kecuali mengislamkan kafir harbidan murtad. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan terpaksa tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun menurut pendapat terkuat, unsur paksaan yang menjadikan talak itu tidak diakui keabsahannya hanya unsur paksaan yang termasuk kategori keterpaksaan absolute seperti ancaman bunuh dan lenyapnya harta, bukan keterpaksaan relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan. Ketentuan tersebut berdasarkan kepada hadis Nabi SAW berikut:
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله وضع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكر هوا عليه  (رواه ابن ماجة والحاكم)[3]
e.       Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat. Gilanya seseorang dapat mengalangi keabsahan dari seluruh bentuk tasharuf.
4.      Wanita yang dihalalkan atau isteri. Apabila seorang suami menyandarkan talak itu kepada bagian dari tubuh isterinya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun apabial suami tersebut menyandarkan kepada fadhalat tubuhnya seperti air liur, air susu atau air mani, maka talaknya tidak sah.
5.      Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami berkata kepada seorang wanita yang bukan isterinya: Anti thalliq (kamu wanita yang ditalak), maka talaknya tidak sah, namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya itu masih berada dalam masa ‘iddah talak raj’iy, maka talaknya baru dianggap sah. Bahkan menurut ulama Syafi’iyyah, apabila seorang suami berkata kepada wanita yang bukan isterinya: in nakahtuki fa anti thalliq (jika aku menikahimu maka kamu adalah wanita yang ditalak), maka nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka, ucapan yang di kaitkan dengan syaratpun juga tidak sah, sebab ketika ia mengucapkannya, wanita tersebut tidka berada dalam kekuasaanya.[4]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam menetapkan rukun talak terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Menurut ulama Hanafiyyah, rukun talak itu hanya satu, yaitu lafal yang menunjukkan makna talak, baik secara etimologi dalam kategori sharih atau kinayah, atau secara syar’, atau tafwidh (menyerahkan kepada isteri untuk menjatuhkan talaknya). Menurut ulama malikiyyah ada empat, yaitu orang yang berkompeten menjatuhkantalak, ada kesengajaan menjatuhkan talak, wanita yang dihalalkan dan adanya lafal, baik sharih maupun kinayah.sedangkan menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada lima, yaitu orang yang menjatuhkan talak, adanya lafal talak, adanya kesengajaan menjatuhkantalak, adanya wanita yang dihalalkan dan menguasai isteri tersebut.
2.      Syarat Talak
Untuk keabsahan talak yang dijatuhkan oleh seorang suami juga mesti memenuhi beberapa syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama, disampng beberapa rukun yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu.
Dalam menetapkan syarat-syarat yang terpenuhi untuk keabsahan talak ini juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Secara umum, mereka dapat dikelompokkan kepada Hanafiyyah dan selain Hanafiyyah.
Menurut ulama dari kalangan Hanafiyyah, syarat-syarat talak yang mesti dipenuhi tersebut diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu ada yang terdapat pada suami, terdapat pada isteri dan ada terdapat pada rukun halal atau lafal itu sendiri.
1)      Syarat-syarat yang terdapat pada suami
Adapun syarat-syarat yang terdapat pada suami itu adalah:
a)      Suami mesti orang yang berakal
b)      Suami itu tidak dungu, bingung, pitam ataupun sedang tidur
c)      Suami itu telah baligh
d)     Suami itu mesti meniatkan untuk menjatuhkan talak, jika ia menjatuhkan talak melalui lafal kinayah.
Sebenarnya untuk persyaratan ini seluruh ulama mensyaratkannya, namun terjadi perbedaan pendapat yang cukup prinsipil antana umala Syafi’iyyah dan ulama Hanafiyyah tentang penetapan lafal-lafal yang termasuk kategori kinayah tersebut.
2)      Syarat-syarat yang terdapat pada wanita adalah bahwa wanitua tersebut adalah miliknya atau masih berada dalam masa ‘iddah talak. Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada wanita yang bukanisterinya atau tidak berada dalam masa ‘iddah maka talaknya tidak sah.
3)      Syarat-syarat yang terdapat pada rukun itu sendiri, yaitu lafal yang menunjukkan makna talak.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Lafal tersebut tidak diiringi oleh istitsna’ (pengecualian), baik pengecualian tersebut bersifat wadh’I maupun ‘urfiiy. Demikian menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang menolerir pengecualian yang menggunakan huruf istitsna’ seperti: dan lain-lain, sedangkan pengecualian yang bersifat wadh’i maupun ‘urfiiy. Demikian menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang menolerir pengecualian yang menggunakan huruf istitsna’ seperti: dan lain-lain, sedangkan pengecualian yang tidak menggunakan huruf istitsna’ namun mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT (menggunakan Kalimat انشاءالله).
b.      Lafal tersebut tidak ada madhrub fih. Apabila ada Mudhrub fih maka tidak jatuh dan yang jatuh hanya madhrub saja menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Sedangkan menurut Zufar, tidak adanya madhrub fih bukan syarat. Oleh karena itu menurutnya, apabila dalam kalimat yang menjatuhkan talak itu ada madhrub fihnya maka jatuh talak sesuai madhrub dan madhrub fih, misalnya seorang suami berkata kepada isterinya:  انت طالق واحدة فى ثلاث وأنت طالق واحدة فى الثنتينatau أنت طالق اثنتين ف (kamu ditalak satu kali dua, kamu ditalak satu kali tiga atau kamu ditalak dua kali dua). Namun contoh diatas, madhrub fihnya adalah ,. Jadi apabila seorang suami menjatuhkan talak isterinya dengan kalimat seperti diatas, maka menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad talaknya tidak sah. Namun menurut zufar talaknya sah sehingga pada contoh pertama talaknya jatuh 2(1x2), pada contoh kedua talaknya jatuh 3(1x3) dan pada contoh ketiga talaknya jatuh 4(2x2). Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, hukumnya tergantung kepada yang diniatkannya.
4)      Syarat yang terdapat pada waktu, yaitu berlalu masa ila’ yang nama masa tersebut (Empat Bulan) merupakan syarat terjadinya talak dengan cara ila’ dan talak tidak jatuh sebelum habis masa itu.
Demikianlah syarat-syarat yang mesti terpenuhi untuk kebiasaan talak yang dijatuhkan oleh seorang suammi kepada isterinya, disamping mestinya terpenuhi rukun talak itu, menurut paraulama dari kalanganHanfiyyah sehingga talak yang dijatuhkan tersebut mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hukum.
Adapun menurut jumhur ulama, disyariatkan pada setiap rukun talak yang telah mereka kemukakan itu beberapa syarat sebagai berikut:
a.       Syarat-syarat yang terdapat pada orang yang menjatuhkan talak adalah:
Orang yang menjatuhkantalak tersebut mesti mempunyai hubungan pernikahan dengan orang yang menjatuhka talaknya. [36] maksudnya, talak itu dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya. Adapun dasarnya adalah hadist Nabi SAW berikut:
عن جابر رضي الله عنه قال : قال رسول االه صلله عليه وسلم  لا طللق إلا بعد نكاح ولا عتق إلا بعد ملك (رواه ابن مادة)
Diterima dari Jabir r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidak ada talak kecuali setelah ada pernikahan dan tidak ada memerdekan budak kecuali setelah ada pemiliknya”. (HR. Abu Ya’la dan Hakim menshahihkannya)
Suami tersebut mesti orang yang mukallaf. Oleh karena itu, tidak sah talak yang dijatuhkan oleh orang gila dan anak kecil, baik yang belum mumayyiz maupun yang telah mumayyiz. Hanya ulam Hanabillah yang menyatakan sahnya talak mumayyiz walaupun umurnya belaum sampai 10 tahun.
Jumhur ulama juga sepakat berpendapat bahwa ikhtiyar-nya suami termasuk keabsahan talak. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan terpaksa tidak sah. Disamping itu, khusus ulama malikiyyah mesyaratkan suami mesti seorang muslim.
Talak yang dijatuhkan oleh suami yang berada dalam keadaan sangat marah juga tidak sah dan karenayan tidak mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hukum.
b.      Syarat yang terdapat pada adanya unsure kesengajaan adalah bahwa suami meniatkan untuk menjatuhkan talak apabila ia tidak mengucapkan lafaz talak yang termasuk dalam kategori sharih.
c.       Syarat yang terdapat pada tempat menjatuhkan talak atau isteri adalah bahwa isteri tersebut memang beran isterinya bukan isteri orang lain walaupun belum disetubuhi, atau isterinya tersebut masih berada dalam masa ‘iddah talak raj’iy. Sebab talak raj’iy tidak menghilangkan ikatan pernikahan, kecuali ‘iddahnya habis.
d.      Syarat yang terdapat pada al-wilayah ‘ala mahal al-thalaq, (menguasai tempat menjatuhkan talak) yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah.
Perlu penulis jelaskan disini bahwa syarat itu menurut ulam syafi’iyyah dan Hanabillah berfungsi untuk menjelaskan furu’ dari rukun yang ketiga terdahulu, yaitu mahal al-thalaq. Maksudnya syarat ini menjelaskan hukum menjatuhkan talak kepada wanita yang bukan isterinya, dimana talaknya sebelaum laki-laki tersebut menikahinya berbeda kejadiannya setelah ia menikahinnya. Dalam formulasi fikih para faqaha memletakkan pembahasan ini dalam tema pengaitan talak atas kepemilikan.
Jadi menurut ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah, apabila seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita:إن تزو جتك فأنت طالق  (jika aku menikahimu maka engkau tertolak), maka talaknya tidak sah. Sebab laki-laki tersebut tidak menguasai wanita itu, dan karenanya tidak memenuhi rukun ke-empat ini.
Sedangkan ulama Hanifiyyah dan Malikiyyah yang tidak menjadikan poin ini menjadi rukun, berpendapat lain tentangpengaitan talak atas kepemilikan tersebut. Menurut ulama Hanifiyyah, talaknya jatuh jika laki-laki itu menikahi wanita tersebut. Sementara ulama Malikiyyah berpendapata, apabila laki-laki itu mengucapkan lafal tersebut secara umum kepada seluruh wanita seperti pada contoh diatas maka talaknya tidak jatuh, namun jika ia menghkususkannya seperti laki-laki itu tersebut berkata: كل امر أة أتز وجها من بني فلا ن أو من بلد كذا فهي طلالق(setiap wanita yang aku nikahi dari Bani Fulan atau dari Negeri anu maka ia tertalak), maka jatuh talaknya. Adapun alasan pembedaan antara lafal yang bersifat umum dan khusus oleh ulam Malikiyyah itu adalah istihsan bi al-mashlahah.
Syarat yang terdapat pada lafal adalah:
a.       Menggunakan lafal yang bermakna talak, baik secara etimologi maupun ‘urfi atau baik melalui tulisan maupun isyarat yang dapat difahami.
b.      Orang yang menjatuhkan talak itu memahami makna lafal itu
c.       Lafal talak itu disandarkan kepada istrinya dalam kalimat







BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukkan terhadap makna talak, baik secara etimologi yaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf-Qayyid (mengangkat ikatan) menghilangkan halalnya (“besenang-senang” dengan) isteri dalam kedua bentuknya (raj’iy dan ba’in), atau apapun yang menempati posisi lafal.
Untuk keabsahan talak yang dijatuhkan oleh seorang suami juga mesti memenuhi beberapa syarat yang telah dikemukakan  oleh para ulama, disamping beberapa rukun yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu.
Dalam menetapkan syarat-syarat yang terpenuhi untuk keastrakan talak ini juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Secara umum, mereka dapat  dikelompokan kepada hanafiyyah dan selain Hanafiyyah.
















DAFTAR PUSTAKA

‘Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i’ wa al-Shana’i’, (beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), Juz 3

Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996), cet. Ke-4

Muhammad Ibn isma’il al-Kahlaniy, Subul al-Salam: Syarh Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkam, (Bandung: Dahlan, t. Th), h. 176. Lihat juga: Muhammad Fu’ad ‘abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.th), Jilid 1

Muhammad bin Muhammad Abi Hamid al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqh Madzahab al-Imam al-Syafi’iy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289. Lihat juga: Al- Sayyid Abi Bark (al-Sayyid al-Bakr), I’anat al-Thalibin, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, t.th), Jilid 4


[1] ‘Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i wa al-Shana’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.) Juz 3, h. 98
[2] Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996), Cet. Ke-4, h. 351
[3] Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlaniy, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Bandung: Dahlan, t,th), hl. 176. Lihat juga: Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th), Jilid I, h. 659
[4] Muhammad bin Muhammad Abi Hamid al-Ghzaliy, al-wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam al-syafi’iy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289. Lihat juga: Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I’nant al-Thalibin, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabiy, t.th), Jilid 4, h. 2

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum....
    sy mw bertanya,suami sy pernah berkata wktu bertengkar:
    1.saya mw ke luar kota kamu pulanglah ke ortu dl.kita sama2 menenangkan(intropeksi diri) selama beberapa hari.dulu kita ketemu baik2 dan kalau mau berpisah saya akan ngomong ke ortumu baik2 jg.tp setelang kami omong2an lg semuanya itu tidak terjadi.
    2.kita bertengkar lg dan ada teman2nya meski mereka tdk melihat tp mendengar.dan saya menangis.karna suami mkn malu dan tdk bs menangkan saya maka dia bilang:seandainya kamu sudah tidak sayang lagi maka aku akan ngomong baik2 ke ortumu tp tunggu setelah anak kita lahir(wktu tu saya mengandung).saya jawab:tidak aku masih sayang .dan berangsur2 pertengkaran kami mereda.
    saya moho penjelasan apakah itu termasuk talak?
    saya ucapkan terimakasih sebelumny....

    BalasHapus