MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi dan Melengkapi Salah Satu Tugas
Pada
Mata Kuliah Fiqh Munakahat II
Dosen : Dul Manan, S.Ag
Disusun Oleh :
Nama : M.
Dimyati
NPM : 10110012
Jurusan : Syari’ah
Prodi : AHS
Semester : VI (Enam)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MA’ARIF
METRO LAMPUNG
2013
KATA PENGANTAR
Segala
puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
hidayah untuk berpikir sehingga dapat melaksanakan tugas mata kuliah Fiqh
Munakahat II yang berjudul “Syarat, Rukun dan Akibat Hukum Talak”
Dalam
penulisan makalah ini penulis bermaksud untuk memenuhi tugas yang diberikan
Dosen. Dan dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali
mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis
masih sangat jauh dari sempurna.
Atas
jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya makalah ini dapat
bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada Dosen, apabila ini masih
belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas kritik dan saran-saran nya yang sifatnya
membangun tentunya.
Metro, April 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL....................................................................................... i
KATA
PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR
ISI.................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A. Definisi dan Hukum Talak.............................................................. 2
B. Hukum Talak tanpa Sebab............................................................... 3
C. Rukun Dan Syarat Talak................................................................. 4
BAB
III ........................................................................................................... KESIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14
BAB
I
PENDAHULUAN
Semua
yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya
Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga
tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang
kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan kikmahnya
masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba
dimuka bumi ini.
Allah
ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki
dan perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah
lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak
terkecuali dalam ikatanpernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan
seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah
dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari
sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang
mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri
disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan percerain.
Ikatan
pernikahanyang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat
kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga
disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur msalah perceraian ini?
Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika
perpisahan itu terjadi?
Perpisahan
yang diakibatkanoleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang lebih luar
daripada perpisahan yang di akibatkan oleh kematian. Untuk itu, kita harus mengetahui
beberap masalah yang dibahas dalam ruang
lingkup perceraian terlebih dulu, sebelum kita membahas hal-hal apa saja yang
harus dilakukan oleh seorang wanita setelah terjadinnya perpisahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan
Hukum Talak
Talak
(الطلالق) menurut bahasa adalah
melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil dari lafazh لاطلاق yang maknanya adalah melepaskan dan
meninggalkan. Sedangkan talak menurut istilah hukum syara’ adlah melepaskan
atau memutuskan ikatan pernikahan. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627),
Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)]
Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan
berumah tanggan, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim
mengutus dua orang juru damai melihat keadaan keduannya, mereka berpendapat
bahwa perceraina adalah jalan terbaik bagi keduanya. maka, ketika itu suami
wajib menceraikan istrinya. Dankeadaan ini hampir sama seperti seorang suami
yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya setelah
masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala
seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti Shalat, shaum, dan yang
semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau
memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri
tidak bisa menjaga kehormatannya.
Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika
perceraian itu sendiri dibutuhkan. Mesalkan suami mendapati akhlak istinya
buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak
menadapatkan harapan dari kebaikan istrinya. hal ini berkaitan dengansikap
nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan
dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan
kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana
diriwayatka dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar
menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘apakah kamu melihat sesuat
yang kamu benci dariku?’ ‘tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau
menalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar bekata,
“Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa’id bin Manshur (no. 1099)
dengan sanad yang shahih]
Talak hukumnya menjadi haran, manakala seorang suami
mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah
menggaulinya. Dan ini dinamanakntalak bid’ah/talah bid’i, sebagaimana akan
datang penjelasannya.
B. Hukum Talak tanpa Sebab
Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:
“sesungguhny aiblis singgasananya berada diatas laut. Dia mengutus para
pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar
godaannya. Diantara mereka ada yang lapor: saya telah melakukan godaan ini. Iblis berkomentar: kamu belum
melakukan apa-apa. Datang yang lain melaporkan: saya menggoda seseorang,
sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah berpisah (talak) dengan
istrinya. kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata:
sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim 2813)
Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas
jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda manusia, sehingga keduanya
bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa
perceraian suami istri termasuk diatara perbuatan yang disukai iblis. Iblis
menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang
berada di atas air dan diatas langit ketujuh.
Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan.
Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis, karena perceraian memberikan dampak
buruk yang dasar bagi kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan
kerurunan. Oleh karena itu, salah satu diantra dampak negatif sihir yang Allah
sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah
berfirman:
(bqßJ¯=yètGusù $yJßg÷YÏB $tB cqè%Ìhxÿã ¾ÏmÎ/ tû÷üt/ ÏäöyJø9$# ¾ÏmÅ_÷ryur
Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu
sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya. (QS.
Al-Baqarah:102)
C. Rukun Dan Syarat Talak
Sebagaimana keharusan yang mesti ada pada
bentuk-bentuk akad dan transaksi yang lain, untuk keabsahan talak juga mesti
memenuhi rukun dan syarat itu, berbeda pengertiannya menurut pakar hukum Islam,
namun kensekwensi yang ditimbulkan keduanya apabila tidak terpenyhi dalam hal
suatu akad atau transaksi, relative sama, yaitu tidak sahnya akad atau
transaksi tersebut.
1. Rukun Talak
Terjadinya perbedaan pendapat dikalang
ulama mengenai penetapan rukun talak. Menurut ulam Hanafiyyah, rukun talak itu
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Kasani sebagai berikut:
فر كن الطلاق هو اللفظ الذي جعل دلالة على معنى الطلاق لغة وهو التخلية
ولإر سال ورفع القيد الصر يح وقطع الو صلة ونحوه فى الكناية أو شر عا وهو إز الة
حل المحلية فى النو عين أو ما يقو م مقام اللفظ[1]
“Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna talak,
baik secara etimologi yaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau membiarkan),
al-irsal (mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori
lafal-lafal lainnya pada lafal kinayah, atau secara syara’ yang menghilangkan
halalnya (“bersenang-sendang” dengan) isteri dalam kedua bentuknya (raj’iy dan
ba’in), atau apapun yang menempati posisi lafal.
Berdasarkan keterangan di atas dapat
dipahami bahwa rukun talak itu dalam pandangan ulama Hanafiyah hanya satu,
yaitu shighah atau lafal yang menunjukkan pengertian talak, baik secara
etimologi, syar’iy maupun apa saja yang menempati posisi lafal-lafal tersebut.
Sedangkan menurut ulam Malikiyah, rukun
talak itu ada empat, yaitu:
1. Orang yang berkompeten melakukannya.
Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa
hukumnya) ataupun wali, jika ia masih kecil.
2. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang
yang menjatuhkan talak itu sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal shrih atau lafal kinayah yang
jelas.
3. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak
yang dijatuhkan itu mensti terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu
perenikahan yang sah
4. Danya lafal, baik bersifat sharih ataupn
termasuk kategorilafal kinayah
Adapun menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah, tukun talak itu ada
lima, yaitu:
1. Orang yang menjatuhkan talak. Orang yang
menjatuhkan talak itu hendaklah seorang mukallaf. Oleh karena iru, talak
anak kecil yang belum baligh dan talak orang gila tidak mempunyai kekuatan
hukum.
2. Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini,
para ulama Syafi’iyyah membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a. Lafal yang diucapkan secara shariha dan
kinayah. Diantara yang termasuk lafal sharih adalah al-Sarrah, al-Firaq,
al-thalaq dan setiap kata yang terambil dari lafal al-thalaq tersebut.
Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang memiliki beberapa pengertian,
seperti seorang suami berkata kepada isterinya: idzhabi (pergilah kamu) atau
ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti itu, sementara suami itu
meniatkan menjatuhkan talaknya. Jadi menurut mereka, talak yang dijatuhkan oleh
seorang suami itu baru terakad apabiala diucapkan dengan lafal-lafal yang
sharih ataupun lafal kinayah dengan meniakannya untuk menjatuhkan talak.
b. Apabila lafal talak itu tidak diucapkan,
baik secara sharih maupun kinayah, boleh saja melalui isyarat yang di pahami
bermakna talak, namun menurut kesepakatan ulama dikalangan Syafi’iyyah, isyarat
tersebut baru dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan
oleh sorang bisu. Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi kepada sharih
dan kinayah. Isyarat sharih adalah isyarat yang dapat dipahami oleh orang
banyak, sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah isyarat yang
hanya dipahami oleh sebagian orang. Penetapan dapatnya isyarat itu menggantikan
kedudukan lafal, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
الإشارة المعهودة للأ خرس كالبيان باللسان[2]
“Isyarat yang biasanya
dapat dipahami sama kedudukannya dengan penjelasan melalui lisan bagi
orang-orang bisu.”
c. Talak itu juga sudah dianggap memenuhi
rukun kedua ini, apabila suami tersebut menyerahkan (al-fawidh) kepada
isterinya utnuk menjatuhkan talaknya. Misalnya seorang suami berkata kepada
isterinya: Thalliqi nafsak (talaklah dirimu), lalu apabila isterinya itu
menjawab: thallaqtu (aku talakkan), maka talak isterinya itu telah jatuh. Sebab
dalam kasus seperti itu, isteri berkedudukan sebagai tamblik (wakil) dalam
menjatuhkan talak.
Jadi dalam
pandangan ulama Syafi’iyyah, lafal atau sighah yang merupakan salah satu
rukun talak itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan lafal yang sharih
atau kinaya, isyarat bagi orang yang bisu baik dengan isyarat yang
sharih maupun kinayah, ataupun melalui penyerahan menjatuhkan talak yang
dikuasakan oleh seorang suami kepada isterinya.
3. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal
talak itu sengaja diucapkan. Ulama Syafi’iyyah mengemukakan bahwa ada lima
bentuk yang dikeragui cacatnya kesengajaan, yaitu:
a. Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang
isterinya bernama Thariq, lalu ia memanggilnya dengan ucapan: Ya Thaliq (wahai
yang ditalak). Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset
(salah ucap) maka talaknya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah
ucapannya sehingga kata yang keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal yang
secara sharih bermakna talak, maka talaknya dianggap tidak sah.
b. Ketidak tahuan. Apabila seorang suami
mengatakan: “Hai wanita yang ditalak” kepada seorang wanita yang disangkanya
isteri orang lain namun ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka
menurut pendapat Jumhur ulama Syafi’iyyah talak sah. Namun apabila orang ‘ajam
(non arab) mengucapkan lafal talak, sementara ia tidak memahami maksudnya maka
talak tidak sah.
c. Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam
keadaan bersenda gurau tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum,
sebagaimana ketentuan yang berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya
d. Adanya unsur paksaan. Adanya unsur
keterpaksaan dapat menghalangi ke absahan seluruh bentuk tashurruf
kecuali mengislamkan kafir harbidan murtad. Oleh karena itu, talak yang
dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan terpaksa tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Namun menurut pendapat terkuat, unsur paksaan yang
menjadikan talak itu tidak diakui keabsahannya hanya unsur paksaan yang
termasuk kategori keterpaksaan absolute seperti ancaman bunuh dan lenyapnya
harta, bukan keterpaksaan relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan.
Ketentuan tersebut berdasarkan kepada hadis Nabi SAW berikut:
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال
إن الله وضع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكر هوا عليه (رواه ابن ماجة والحاكم)[3]
e. Hilang akal pikiran disebabkan gila dan
minum obat. Gilanya seseorang dapat mengalangi keabsahan dari seluruh bentuk tasharuf.
4. Wanita yang dihalalkan atau isteri. Apabila
seorang suami menyandarkan talak itu kepada bagian dari tubuh isterinya,
misalnya ia menyandarkan kepada anggota tubuh tertentu seperti tangan, kepala,
limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun apabial suami tersebut menyandarkan
kepada fadhalat tubuhnya seperti air liur, air susu atau air mani, maka
talaknya tidak sah.
5. Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang
suami berkata kepada seorang wanita yang bukan isterinya: Anti thalliq
(kamu wanita yang ditalak), maka talaknya tidak sah, namun apabila suami
tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya itu masih berada dalam masa
‘iddah talak raj’iy, maka talaknya baru dianggap sah. Bahkan menurut
ulama Syafi’iyyah, apabila seorang suami berkata kepada wanita yang bukan
isterinya: in nakahtuki fa anti thalliq (jika aku menikahimu maka kamu
adalah wanita yang ditalak), maka nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka,
ucapan yang di kaitkan dengan syaratpun juga tidak sah, sebab ketika ia
mengucapkannya, wanita tersebut tidka berada dalam kekuasaanya.[4]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam menetapkan
rukun talak terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Menurut ulama
Hanafiyyah, rukun talak itu hanya satu, yaitu lafal yang menunjukkan makna
talak, baik secara etimologi dalam kategori sharih atau kinayah,
atau secara syar’, atau tafwidh (menyerahkan kepada isteri untuk
menjatuhkan talaknya). Menurut ulama malikiyyah ada empat, yaitu orang yang
berkompeten menjatuhkantalak, ada kesengajaan menjatuhkan talak, wanita yang
dihalalkan dan adanya lafal, baik sharih maupun kinayah.sedangkan
menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada lima, yaitu
orang yang menjatuhkan talak, adanya lafal talak, adanya kesengajaan
menjatuhkantalak, adanya wanita yang dihalalkan dan menguasai isteri tersebut.
2. Syarat Talak
Untuk keabsahan talak yang dijatuhkan oleh
seorang suami juga mesti memenuhi beberapa syarat yang telah dikemukakan oleh
para ulama, disampng beberapa rukun yang telah dikemukakan pada pembahasan
terdahulu.
Dalam menetapkan syarat-syarat yang
terpenuhi untuk keabsahan talak ini juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Secara umum, mereka dapat dikelompokkan kepada Hanafiyyah dan selain
Hanafiyyah.
Menurut ulama dari kalangan Hanafiyyah,
syarat-syarat talak yang mesti dipenuhi tersebut diklasifikasikan kepada tiga
kategori, yaitu ada yang terdapat pada suami, terdapat pada isteri dan ada
terdapat pada rukun halal atau lafal itu sendiri.
1) Syarat-syarat yang terdapat pada suami
Adapun syarat-syarat yang terdapat pada suami itu adalah:
a) Suami mesti orang yang berakal
b) Suami itu tidak dungu, bingung, pitam
ataupun sedang tidur
c) Suami itu telah baligh
d) Suami itu mesti meniatkan untuk menjatuhkan
talak, jika ia menjatuhkan talak melalui lafal kinayah.
Sebenarnya untuk persyaratan ini seluruh
ulama mensyaratkannya, namun terjadi perbedaan pendapat yang cukup prinsipil
antana umala Syafi’iyyah dan ulama Hanafiyyah tentang penetapan lafal-lafal
yang termasuk kategori kinayah tersebut.
2) Syarat-syarat yang terdapat pada wanita
adalah bahwa wanitua tersebut adalah miliknya atau masih berada dalam masa
‘iddah talak. Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki menjatuhkan talak
kepada wanita yang bukanisterinya atau tidak berada dalam masa ‘iddah maka
talaknya tidak sah.
3) Syarat-syarat yang terdapat pada rukun itu
sendiri, yaitu lafal yang menunjukkan makna talak.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Lafal tersebut tidak diiringi oleh
istitsna’ (pengecualian), baik pengecualian tersebut bersifat wadh’I maupun
‘urfiiy. Demikian menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang menolerir
pengecualian yang menggunakan huruf istitsna’ seperti: dan lain-lain, sedangkan
pengecualian yang bersifat wadh’i maupun ‘urfiiy. Demikian menurut mayoritas
ulama, kecuali Imam Malik yang menolerir pengecualian yang menggunakan huruf
istitsna’ seperti: dan lain-lain, sedangkan pengecualian yang tidak menggunakan
huruf istitsna’ namun mengaitkannya dengan kehendak Allah SWT (menggunakan
Kalimat انشاءالله).
b. Lafal tersebut tidak ada madhrub fih.
Apabila ada Mudhrub fih maka tidak jatuh dan yang jatuh hanya madhrub saja
menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Sedangkan menurut Zufar, tidak
adanya madhrub fih bukan syarat. Oleh karena itu menurutnya, apabila dalam
kalimat yang menjatuhkan talak itu ada madhrub fihnya maka jatuh talak sesuai
madhrub dan madhrub fih, misalnya seorang suami berkata kepada isterinya: انت طالق واحدة فى ثلاث وأنت
طالق واحدة فى الثنتينatau أنت طالق
اثنتين ف (kamu
ditalak satu kali dua, kamu ditalak satu kali tiga atau kamu ditalak dua kali
dua). Namun contoh diatas, madhrub fihnya adalah ,. Jadi apabila seorang suami
menjatuhkan talak isterinya dengan kalimat seperti diatas, maka menurut Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad talaknya tidak sah. Namun menurut zufar
talaknya sah sehingga pada contoh pertama talaknya jatuh 2(1x2), pada contoh
kedua talaknya jatuh 3(1x3) dan pada contoh ketiga talaknya jatuh 4(2x2).
Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, hukumnya tergantung kepada yang diniatkannya.
4) Syarat yang terdapat pada waktu, yaitu
berlalu masa ila’ yang nama masa tersebut (Empat Bulan) merupakan syarat
terjadinya talak dengan cara ila’ dan talak tidak jatuh sebelum habis masa itu.
Demikianlah syarat-syarat yang mesti terpenuhi untuk
kebiasaan talak yang dijatuhkan oleh seorang suammi kepada isterinya, disamping
mestinya terpenuhi rukun talak itu, menurut paraulama dari kalanganHanfiyyah
sehingga talak yang dijatuhkan tersebut mempunyai kekuatan sekaligus implikasi
hukum.
Adapun menurut jumhur ulama, disyariatkan pada setiap
rukun talak yang telah mereka kemukakan itu beberapa syarat sebagai berikut:
a. Syarat-syarat yang terdapat pada orang yang
menjatuhkan talak adalah:
Orang yang
menjatuhkantalak tersebut mesti mempunyai hubungan pernikahan dengan orang yang
menjatuhka talaknya. [36] maksudnya, talak itu dijatuhkan oleh seorang suami
kepada isterinya. Adapun dasarnya adalah hadist Nabi SAW berikut:
عن جابر رضي الله عنه قال : قال رسول االه
صلله عليه وسلم لا طللق إلا بعد نكاح ولا
عتق إلا بعد ملك (رواه ابن مادة)
“Diterima
dari Jabir r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidak ada
talak kecuali setelah ada pernikahan dan tidak ada memerdekan budak kecuali
setelah ada pemiliknya”. (HR. Abu Ya’la dan Hakim menshahihkannya)
Suami
tersebut mesti orang yang mukallaf. Oleh karena itu, tidak sah talak yang
dijatuhkan oleh orang gila dan anak kecil, baik yang belum mumayyiz maupun yang
telah mumayyiz. Hanya ulam Hanabillah yang menyatakan sahnya talak mumayyiz
walaupun umurnya belaum sampai 10 tahun.
Jumhur ulama
juga sepakat berpendapat bahwa ikhtiyar-nya suami termasuk keabsahan talak.
Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan terpaksa tidak sah.
Disamping itu, khusus ulama malikiyyah mesyaratkan suami mesti seorang muslim.
Talak yang
dijatuhkan oleh suami yang berada dalam keadaan sangat marah juga tidak sah dan
karenayan tidak mempunyai kekuatan sekaligus implikasi hukum.
b. Syarat yang terdapat pada adanya unsure
kesengajaan adalah bahwa suami meniatkan untuk menjatuhkan talak apabila ia
tidak mengucapkan lafaz talak yang termasuk dalam kategori sharih.
c. Syarat yang terdapat pada tempat
menjatuhkan talak atau isteri adalah bahwa isteri tersebut memang beran isterinya
bukan isteri orang lain walaupun belum disetubuhi, atau isterinya tersebut
masih berada dalam masa ‘iddah talak raj’iy. Sebab talak raj’iy tidak
menghilangkan ikatan pernikahan, kecuali ‘iddahnya habis.
d. Syarat yang terdapat pada al-wilayah ‘ala
mahal al-thalaq, (menguasai tempat menjatuhkan talak) yang dikemukakan oleh
ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah.
Perlu penulis jelaskan disini bahwa syarat itu menurut
ulam syafi’iyyah dan Hanabillah berfungsi untuk menjelaskan furu’ dari rukun
yang ketiga terdahulu, yaitu mahal al-thalaq. Maksudnya syarat ini menjelaskan
hukum menjatuhkan talak kepada wanita yang bukan isterinya, dimana talaknya
sebelaum laki-laki tersebut menikahinya berbeda kejadiannya setelah ia
menikahinnya. Dalam formulasi fikih para faqaha memletakkan pembahasan ini
dalam tema pengaitan talak atas kepemilikan.
Jadi menurut ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah,
apabila seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita:إن تزو جتك فأنت طالق (jika aku
menikahimu maka engkau tertolak), maka talaknya tidak sah. Sebab laki-laki
tersebut tidak menguasai wanita itu, dan karenanya tidak memenuhi rukun
ke-empat ini.
Sedangkan ulama Hanifiyyah dan Malikiyyah yang tidak
menjadikan poin ini menjadi rukun, berpendapat lain tentangpengaitan talak atas
kepemilikan tersebut. Menurut ulama Hanifiyyah, talaknya jatuh jika laki-laki
itu menikahi wanita tersebut. Sementara ulama Malikiyyah berpendapata, apabila
laki-laki itu mengucapkan lafal tersebut secara umum kepada seluruh wanita
seperti pada contoh diatas maka talaknya tidak jatuh, namun jika ia
menghkususkannya seperti laki-laki itu tersebut berkata: كل امر أة أتز وجها من بني فلا ن أو من بلد كذا فهي طلالق(setiap wanita yang aku nikahi dari Bani
Fulan atau dari Negeri anu maka ia tertalak), maka jatuh talaknya. Adapun
alasan pembedaan antara lafal yang bersifat umum dan khusus oleh ulam
Malikiyyah itu adalah istihsan bi al-mashlahah.
Syarat yang terdapat pada lafal adalah:
a. Menggunakan lafal yang bermakna talak, baik
secara etimologi maupun ‘urfi atau baik melalui tulisan maupun isyarat yang
dapat difahami.
b. Orang yang menjatuhkan talak itu memahami
makna lafal itu
c. Lafal talak itu disandarkan kepada istrinya
dalam kalimat
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa, rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukkan
terhadap makna talak, baik secara etimologi yaitu al-takhliyyah (meninggalkan
atau membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf-Qayyid (mengangkat ikatan)
menghilangkan halalnya (“besenang-senang” dengan) isteri dalam kedua bentuknya
(raj’iy dan ba’in), atau apapun yang menempati posisi lafal.
Untuk keabsahan talak yang dijatuhkan oleh seorang suami
juga mesti memenuhi beberapa syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama, disamping beberapa rukun
yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu.
Dalam menetapkan syarat-syarat yang terpenuhi untuk
keastrakan talak ini juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Secara
umum, mereka dapat dikelompokan kepada
hanafiyyah dan selain Hanafiyyah.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy,
Bada’i’ wa al-Shana’i’, (beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), Juz 3
Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996), cet. Ke-4
Muhammad Ibn isma’il al-Kahlaniy, Subul
al-Salam: Syarh Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkam, (Bandung: Dahlan, t. Th),
h. 176. Lihat juga: Muhammad Fu’ad ‘abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut:
al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.th), Jilid 1
Muhammad bin Muhammad Abi Hamid
al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqh Madzahab al-Imam al-Syafi’iy, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), h. 286-289. Lihat juga: Al- Sayyid Abi Bark (al-Sayyid al-Bakr),
I’anat al-Thalibin, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, t.th), Jilid 4
[1] ‘Ala al-Din
Abi Bakr Ibn Mas’ud al-Kasaniy, Bada’i wa al-Shana’i, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.) Juz 3, h. 98
[2] Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar
al-Qalam, 1996), Cet. Ke-4, h. 351
[3] Muhammad Ibn
Isma’il al-Kahlaniy, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Adillah
al-Ahkam, (Bandung: Dahlan, t,th), hl. 176. Lihat juga: Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th),
Jilid I, h. 659
[4] Muhammad bin
Muhammad Abi Hamid al-Ghzaliy, al-wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam al-syafi’iy,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289. Lihat juga: Al-Sayyid Abi Bakr
(al-Sayyid al-Bakr), I’nant al-Thalibin, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats
al-Arabiy, t.th), Jilid 4, h. 2
assalamu'alaikum....
BalasHapussy mw bertanya,suami sy pernah berkata wktu bertengkar:
1.saya mw ke luar kota kamu pulanglah ke ortu dl.kita sama2 menenangkan(intropeksi diri) selama beberapa hari.dulu kita ketemu baik2 dan kalau mau berpisah saya akan ngomong ke ortumu baik2 jg.tp setelang kami omong2an lg semuanya itu tidak terjadi.
2.kita bertengkar lg dan ada teman2nya meski mereka tdk melihat tp mendengar.dan saya menangis.karna suami mkn malu dan tdk bs menangkan saya maka dia bilang:seandainya kamu sudah tidak sayang lagi maka aku akan ngomong baik2 ke ortumu tp tunggu setelah anak kita lahir(wktu tu saya mengandung).saya jawab:tidak aku masih sayang .dan berangsur2 pertengkaran kami mereda.
saya moho penjelasan apakah itu termasuk talak?
saya ucapkan terimakasih sebelumny....