Minggu, 23 Juni 2013
Senin, 17 Juni 2013
LI'AN
MAKALAH
LI’AN
Diajukan untuk
memenuhi tugas mandiri dalam mata kuliah Fiqh Munakahat II
DOSEN : DUL MANAN, S.Ag
Di susun oleh:
NAMA : DEWI PURNAMASARI
|
|
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MA’ARIF NU METRO
LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Kehidupan
suami istri adakalanya berlangsung dengan tentram dan damai,apabila keduanya
saling kasih sayang dan pihaknya menjalankan kewajiban dengan baik. Namun tidak
jarang juga timbul perselisihan sehingga tidak tampak keharmonisan dalam
keluarga,bahkan sulit diselesaikan dengan baik dan damai. Seperti halnya maalah
li’an. Yakni seorang suami menuduh istrinya berzina dengan laki-laki lain.
Ketia seorang suami menuduh istrnya berzina maka seorang suami harus dapat
mendatangkan saksi agar tuduhannya tersebut tidak dianggap dusta. Jika benar
istri telah berzina,maka suami bekewenangan untuk menceraikan sang istri,karena
istri sudah merusak batasan alloh dalam sebuah pernikahan. Berikut akan dibahas
tentang suami istri yang berli’an dan akibat hukumnnya.
2.Pengertian
Li’an secara bahasa adalah
laknat,sebab suamiistri yang berlian (bersumpah atas nama alloh) akan dilaknat
alloh,jika salah satu diantaranya dusta. Li’an secara istilah berarti sumpah
seorang suami dimuka hakim bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki
lain.yakni sumpah tersebut dengan menggunakan kalimat “demi alloh” sebanyak
empat kali dan yang kelima kalinya adalah “dilaknat alloh jika saya dusta”
li’an terjadi disebabkan suami tidak
dapat mendatangkan empat orang saksi. Terhadap tuduhanya kepada istrinya oleh
sebab itu mereka harus bersumpah.
3.
Rumusan Masalah
1.
apa pengertian li’an secara bahasa dan istilah ?
2. bagaimana akibat hokum li’an bagi suami
istri yang berli’an ?
3. apa saja
dalil tentang li’an
BAB 11
PEMBAHASAN
PERCERAIAN KARENA LI’AN DAN AKIBAT HUKUMANYA
1.
Pengetian dan hokum li’an
Li’an berasal dari kata ”la’ana”
,yang artinya laknat,sebab suami istri pada ucapan kelima saling
bermula’anah dengan kalimat “sesungguhnya
padanya akan jatuh laknat alloh jika ia tergolong orang yang telah berbuat
dosa.
Menurut istilah syara’,li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim
bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal
perbuatan zina.jadi,suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak
menegemukakan saksi ,kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Namun
tuduhan itu ditangkis oleh istr dengan jalan bersumpah pula,bahwa apa yang
dituduhkan oleh suami atas dirinya adalah dusta belaka. Dasar wajibnya li’an
adalah al-qur’an dan hadits.
Firman alloh dalam QS. Annur:6-9
adalah :
Artinya: dan orang-orang
yang menuduh istrinya (berzina) padahaldia tidak mempunyai saksi-saksi selain
dari mereka sendiri,maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah
dengan nama alloh sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar.dan ( sumpah ) yang kelima laknat alloh atasnya
jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari
hokum alloh oleh sumpahnya,empat kali atas nama alloh sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa
laknat alloh atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Sedangkan hadis yang menjadi dasar
adalah HR.imam malik dan imam-imam yang meriwayatkan hadis shahih dari hadis
‘uwaimir al-ajlani “apabila suami tidak dapat mendatangkan empat saksi orang
laki-laki maka ia harus bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa dirinya
benar,dan pada kelima kalinya ia mengucapkan “bahwa ia akan dilaknat oleh alloh
jika tuduhan itu dusta”.
Kemudian jika istri akan menyanggah tuduhan
tersebut,maka ia harus bersumpah empat kali juga. Dan pada kelima kalinya ia
mengucapkan bahwa ia akan dilaknat alloh jika ternyata ucapan suaminya itu
benar.
Praktik li’an yang dilakukan suami
dengan bersumpah atas nama allohsampai empat kali dengan mengucapkan: “aku
bersumpah dengan allohdemi alloh bahwasanyya saya adalah benar atas tuduhan
saya kepada istri saya yang bernama ……. bahwa dia benar-benar berbuat zina”.
Kemudian kelima kalinya ia mengucapkan sumpah yang berbunyi “dilaknat alloh jika saya berdusta”.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa li’an itu pada dasarnya ada dua macam:
1.
Suami menuduh istri berizina,dan ia tidak memiliki empat
orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu.
2.
Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil benih
persetubuhannya.
2. Penetapan Hukum Li’an
Apabila terjadi suami menuduh istrinya
berbuat zina ,tetapi ia tidak mengakuinya dan suami tidak mau mencabut
tuduhanya itu,maka alloh membolehkan mereka untuk mengadakan li’an. Li’an
merupakan ketentuan yang sah menurut al-qur’an,sunnah,ijma’ dan qias.
Tentang masa berangsungnya hokum
li’an ,jumhur fuqaha berpendapat
bahwa li’an berlangsung hingga ber akhirnya masa mengandung terpanjang,sesuai
dengan silang pendapat mereka tentang
masalah ini.
Fuqaha zahiri berpendapat bahwa : batas
terpendek masa mengandung yang mewajibkan hokum li’an seperti umumnya masa
mengandung yaitu masa yang mendekati Sembilan bulan. Dikalangan fuqaha juga
tida diperselisihkan bahwa hokum li’an
itu wajib dalam masa ishamah. Selebihnya adalah menurut masa mengandung terpendek /selama 6 bulan yakni pada saat
anak itu lahir.dalam masa 6 bulan sejak waktu dukhul,atau dari watu suami
menyetubuhi,bukan dari waktu akad nikah.
3. Istri Hamil Sesudah Li’an
Apabila istri yang dituduh itu hamil sesudah li’an,dalam hal ini ada
dua pendapat yang diriwayatkan oleh imam
malik.
Pertama terlepasnya suami
dari kandungan istri.
Kedua dilihatkannya nasab
anak yang dikandung kepadanya.
4.
Mengingkari Kandungan
Jika suami mengingkari kandungan maka dalam hal ini terdapat dua
persolan,yaitu suami mengaku bahwa ia telah mengistibra’kan istrinya dan tidak
menggaulinya sesudah istibra’. Hal ini tidak diperselisihkan oleh fuqaha.
Kemudian masalah waktu
untuk mengingkari kandungan jumhur ulama berpendapat bahwa suami boleh
mengingkarinya ketika istrinya hamil. Imam malik mensyaratkan bahwa apabila
suami tidak mengingkari kandungan pada masa kehamilan,maka ia tidak boleh
mengingkarinya sesudah kelahiran dengan li’an.
5.
Penolakan untuk bermula’anah
Suami/istri adakalanya menolak untuk
bermula’anah. Jika suami yang menuduh istrinya berbuat zina,dan tidak dapat
mengajukan saksi kemudian tidak mau mengucapkan li’an, maka ia wajib dijatuhi
hukuman had. Itulah pendapat imam madzhab yang 3.
Sedangkan imam abu
hanifah,berpendapat bahwa suami tidakwajib dijatuhi hukuman had tetapi ia
dipenjara sampaimau mengucapkan li’an,atau mau mencabut tuduhanya. Jika ia
mencabut tuduhan,yang berarti mendustakan ucapan semula, maka ia wajib dikenai
hukuman had. Jika istrinya menolak mengucapkan li’an,ia juga wajib dijatuhi
hukuman had.
Dalam hubungannya dengan masalah ini,pendapat abu hanifah dianggap lebih
tepat. Bahkan abu ma’ali seorang ulama aliran syafi’I, dalam kitabnya al burhan
mengakui kekuatan pendapat imam abu hanifah dalam masalah tersebut.
6. Akibat hokum li’an
Usman al-batti dan
segolongan ulama basrah mengatakan bahwa li’an tidak mengakibatkan perpisahan
diantara suami istri. Mereka
mengemukakan alas an bahwa perpisahan itu tidak termuat dalam ayat li’an. Dan
tidak pula dijelaskan dalam hadis li’an. Lagipula li’an disyari’atkan untuk
menghindarkan hukuman had karena
menududh berzina. Oleh karena itu, li’an tidak mewajibkan pengharaman karena
dipersamakan dengan bukti.
Jumhur ulama mengemukakan alas an
bahwa pada dasarnya diantara keduanya telah terjadi pemutusan hubungan ,saling membenci ,saling
memperturutkan hawa nafsu dan merusak batasan-batasan alloh SWT.
Mengenai kapan perceraian itu diwajibkan, imam malik al-lais dan segolongan fuqaha
berpendapat bahwa perpishan itu terjadi apabila keduanya sudah selesai
mengadukan li’an.Imam syafi’I
berpendapat,jika suami telah selesai menyelesaikan li’an-nya, maka
perpisahanpun telah terjadi.
Sedangkanimamabu
hanifah berpendapat, bahwa perpisahan itu tidak terjadi kecuali berdasarkan
keputusan dari hakim. Alas an yang dikemukkan imam malik terhadap imam syafi’I
adalah hadis ibnu umar ra. :
Artinya : ibnu umar berkata, bahwa rosululloh saw memisahkan
diantara dua orang yang berli’an. Kemudian bersabda “perhitungan kalian
terserah kepada alloh,salah seorang diantara kamu berdua teleh berdusta ,maka
tidak ada jalan bagimu kepadanya.
Silang pendapat
diantara fuqaha yang menyatakan bahwa perpisahan terjadi dengan li’an dengan fuqaha yang tidak berpendapat
demikian,disebabkan adanya ketidak jelasan tentang pemisahan yang dilakukan
oleh nabi saw terhadap kedua suami istri didalam hadis yang mashur itu,kurang
jelas keterangannya. Karena (didalam hadis tersebut) disebutkan bahwa lelaki
itu sendirilah yang memulai menalak istrinya. Sebelum nabi saw memberitahukan
kepadanya tentang wajibnya terjadi perpisahan.
Menurut aturan
pokok,tidak ada perpisahan kecuali dengan talak dan didalam syara’ tidak ada
pengharaman (untuk berkumpul kembali) yang bersifat abadi,yang disepakati oleh
semua fuqaha.
Imam malik dan syafi’I berpendapat bahwa pepisahan tersebut
merupakan talak ba’in.sebab perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi
sesudah adakeputusan dari hakim.
1). Akibat sumpah li’an bagi suami istri
Pelaksanaan hokum li’an
sangat memberatkan dan menekan perasaan baik bagi suami maupun istri yang
sedang dalam perkara li’an ini.karena :
a. Karena bilangan sumpah li’an
b. didekat mimbar.
c. Karena sumpah itu
dilakukan dihadapan jama’ah sekurang-kurangnya berjumlah empat orang.
Disamping itu pengaruh lainnya akibat li’an adalah :
Terjadinya perceraian antara suami istri.Bagi suami maka istrinya menjadi
haram untuk selamanya.Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad
baru. Bila istrinya melahirkan anak yang ada dalam kandungannya,maka anak itu dihikumkan tidk
termasuk keturunan suaminya.
Rosululloh bersabda :
Artinya : “dari ibnu abbas ra. Bahwa ia telah berkata,dalam hadis dua
orang yang telah menuduh (suami istri), “dan telah menghukum rosululloh
saw,bahwa tidak ada tempat kediaman yang hak baginya (istri) yang wajib atasnya
(suami),dan tidak pula makanan wajib diberikan sumi,karena keduanya telah
bercerai. Bukan karena talak,dan bukan pula karena suaminya meningga. (HR. abu
daud).
2). Akibat sumpah li’an dari segi hokum
Sebagai akibat dari sumpah li’an yang
berdampak pada suami istri yaitu:
a. gugur had atas istri
sebagai had zina
b. wajib hadatas istri
sebagai had zina
c. suami istri bercerai untuk
selamanya
d. ditetapkan berdasarkan
pengakuan suami, bahw dia tidak mencampuri istrinya.
KESIMPULAN
Li’an berasal dari kata ”la’ana” ,yang artinya laknat,sebab suami istri
pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh
jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.
Fuqaha
zahiri
berpendapat bahwa : batas terpendek masa mengandung yang mewajibkan hokum li’an
seperti umumnya masa mengandung yaitu masa yang mendekati Sembilan bulan.
Dikalangan fuqaha juga tida diperselisihkan
bahwa hokum li’an itu wajib dalam masa ishamah. Selebihnya adalah
menurut masa mengandung terpendek
/selama 6 bulan yakni pada saat anak itu lahir.dalam masa 6 bulan sejak waktu
dukhul,atau dari watu suami menyetubuhi,bukan dari waktu akad nikah.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin.slamet
abiding.FIQH MUNAKAHAT 2.1999.CET 1 CV. Pustaka setia
.
Muhammad abu bakar.SUBULUSSALAM.1995.CET 1.surabaya: Al-ikhlas.
Iddah
MAKALAH
IDDAH
Diajukan untuk
memenuhi tugas mandiri
dalam mata kuliah Fiqh Munakahat II
DOSEN : DUL MANAN, S.Ag
NAMA
|
NPM
|
HARI WIBOWO
KHOMSATUN
|
10110008
10110009 |
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MA’ARIF NU METRO
LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
KATA PENGANTAR
بِسْمِ
اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT.
atas segala rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan
waktu bagi saya dalam menyusun tugas ini. Makalah ini ditulis penulis sebagai
pemenuhan tugas mata kuliah Fiqh
Munakahat II. Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan
dan tuntunan Allah Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Tiada manusia yang sempurna, begitupun dengan makalah
ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh
karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang
membangun. Dan dari penulis sendiri,
saya ucapkan terima
kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Metro, 6 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluam
A. Latar
belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan
masalah............................................................................. 1
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian
Iddah.............................................................................. 2
B. Dasar
Hukum Iddah......................................................................... 2
C. Macam-macam
Iddah....................................................................... 4
D. Hikmah
di Syari’atkannya Iddah..................................................... 7
E. Hak dan
Kewajiban Suami Istri pada masa Iddah........................... 9
Bab
III Penutup
A. Kesimpulan..................................................................................... 10
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini sering kita jumpai berbagai macam model perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Baik itu nikah secara resmi, nikah sirih, dan lain-lain. Dalam hal ini tentu banyak kekeliruan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang kemudian tidak nampak karena mungkin sengaja disembunyikan atas dorongan hawa nafsu ataukah mungkin karena kurangnya ilmu pengetahuan tentang hal tersebut.
Islam kemudian
mengajarkan kepada kita sekalian tentang praktek-praktek mulai dari masa
ta’arufan, peminangan, pelaksanaan perkawinan, sampai kepada perceraian atau
putusnya perkawinan apabila tidak mampu lagi mempertahankan rumah tangga karena
sesuatu hal.
Salah satu yang sering
dilupakan ketika seorang pria ingin menikahi seorang wanita yang baru saja
melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang isteri dari pria lain yaitu iddah
(masa tangguhan).
Anjuran syariat untuk
beriddah tentu mempunyai alasan dan hikmah dibalik anjuran tersebut, yang
kemudan akan dibahas pada paembahasan selanjutnya dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian iddah?
2.
Apa dasar hukum iddah?
3.
Apa saja maca-macam iddah?
4.
Apa hikmah disyari’atkannya
iddah?
5.
Apa hak dan kewajiban suami
istri dalam masa iddah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iddah
Iddah berasal dari kata Adad yang artinya menghitung
maksudnya adalah perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut istilah yaitu lamanya perempuan (Istri)
menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah berpisah
dengan suaminya.
Iddah sudah di
kenal juga pada zaman jahiliyah mereka hampir tidak pernah meninggalkan
kebiasaan iddah tatkala islam datang kebiasaan itu di akui dan tetap di
jalankan karena ada beberapa kemaslahatan di dalamnya. Para ulma’ bersepakat
bahwa iddah itu wajib hukumnya. Karena Allah berfirman:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثه قروء........
(البقرة : 228)
Artinya: “wanita yang di tholak
hendaknya menahan diri menunggu (tiga kali kuru’)”…. (al-Baqoroh [2]: 228)
Nabi Muhammad SAW bersabda kepada
Fatimah binti Qais:
وقوله صلى الله عليه وسلم لفاطنة بنت قيش : إعتدي في بيت ابن أم مكتوم
Artinya:
“Beriddahlah kamu di rumah Ibnu ummi maktum”….
B. Dasar Hukum Iddah
Setelah membahas masalah
iddah dari segi pengertian, maka di bawah ini penyusun membahas dasar-dasar
hukum iddah yang mengacu pada hukum naqli guna memperjelas tentang iddah
itu sendiri.
1.
Dasar dari Al Qur'an
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاث قروء ولا يحل لهن ان يكتمن ما خلق
الله في ارحامهن ان كن يوءمن بالله واليوم الاخر وبعولتهم احق بردهن في ذالك ان
ارادوا اصلاحا ولهن مثل الذي عليهن بالمعرف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم.
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah : 228)
Ayat
di atas walaupun sebenarnya telah dinasakh oleh ayat yang kemudian, akan
tetapi kandungan dari hukum ayat tersebut tetaplah dipakai dan dipergunakan
sebagai dalil hukum dalam penetapan hukum Islam syara’ yang berkenaan
dengan masalah iddah istri.
2.
Dasar hadist
Hadits
dari Bukhari dan Muslim yang berbunyi :
وعن ابي مسعود
البدري رضي الله عنه عن النبي صلعم قال : انفق الرجل علي اهله يحتسبها فهوا له
صدقة
Dari Abu Mas'ud Al Badry ra. Dari
Nabi saw. Beliau bersabda "Apabila seseorang menafkahkan harta untuk
keperluan keluarga, hanya berharpa dapat memperoleh pahala maka hal itu akan
dicatat sebagai sedekah baginya."
3.
Dasar Hukum Perdata
Undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita
yang putus perkawinan. Selanjutnya atas dasar pasal
11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu
sebagai berikut :
Ayat (1) Bagi seorang wanita yang
putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Ayat (2) Tenggang waktu jangka
waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih
lanjut.
Demikian pula pada Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab
VII pasal 39.Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dalam
menentukan waktu tunggu sebagai berikut : Ayat (1) Bagi seorang istri yang
putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla ardhukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Demikian pula dalam pasal 154
dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu iddah.
C. Macam-Macam Iddah
1.
Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena
perceraian, perempuan yang berada dalam iddah talak antara lain:
a.
Perempuan yang telah di campuri
dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3
kali Quru’).
Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة : 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Mengenai
quru’ para ulama’ fiqih berpendapat berbeda-beda:
1.
Fuqaha berpendapat bahwa quru’
itu artinya suci yaitu masa diantara haid.
2.
Fuqaha lain berpendapat bahwa
quru’ itu haid, terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-tsauri Al-Auzali, Ibnu Abi
Laila. Alasanya adalah untuk mengetahui kolongnya rahim, tidak hamil bagi
wanita yang di talak, sedangkan kekosongan rahim hanya di ketahui dengan haid.
3.
Fuqaha Anshor berpendapat bahwa
quru’ adalah suci terdiri dari Imam Mahit dan Syaf i’. alasanya adalah menjadi
pedoman bagi kosongnya rahim dimana masa suci pada haid bukan bukan berarti
berpegang pada haid terakhir maka tiga yang di syaratkan harus lengkap masa
suci diantara 2 haid.
Nabi SAW bersabda:
Artinya: “suruhlah dia, hendaklah ia
merujuk istrinya sehinggah ia haid, kemudian suci kemudian haid lagi kemudian
menceraikanya juka mau sebelum ia menyentuhnya. Demikian itulah iddah yang
diperintahkan oleh Alloh SWT untuk menceraikan istri”.
b.
Perempuan yang dicampuri dan
tidak haid baik ia perempuan belum baligh atau perempuan tua yang tidak haid,
maka iddahnya 3 bulan.
Artinya: “Dan (pr) yang putus asa dari haid diantara (pr) jika kamu
ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka untuk tiga bulan, dan begitu
pula (pr) yang tidak haid.” (Q.S. At Talak : 28 :4)
c.
Perempuan-perempuan yang
tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada iddahnya. Firman Allah
SWT :
Artinya: ‘’Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi
perempuan@ yang beriman, kemudian k-moe ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimoe yang kamu
minta menyempurnakanya (Q.S Al Ahzab (22):49)
Jika perempuan belum pernah di setubuhi dan di tinggal mati maka iddahnya
seperti iddahnya orang telah di setubuhi’’. Firman Allah SWT :
والذين يتوفّون منكم ويذرون ازوجا
يتربصن بانفسهنّ اربعة اثهر وعشرا
Artinya: “orang-orang yang
meniggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri untuk 4 bulan 10
hari(hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)
2.
Iddah Hamil
Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan
yang diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan. Firman Allah SWT :
واولت للأجمال اجملهن ان يضعن حملهنّ ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا
(الطلاق :4)
Artinya: “dan (pr yang hamil waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandunganya. dan barang siapa
yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh menjadikan baginya kemudian dalam
urusnya”. (Q.S. At-talaq 28 : 4)
Contoh
:
Apabila ia hamil dengan anak kembar
maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua jika (pr) itu
keguguran maka iddahnya ialah: sesudah melahikan baik baginya hidup, mati,
sempurna badanya / cacat, ruhya telah ditiup /belum.
3.
Iddah Wafat
Adalah: Iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal
mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة : 234)
Artinya: “Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqoroh:
234)
4.
Iddah wanita yang kehilangan
suami.
Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui
keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di menunggu
selama 4 tahun lamanya sesudah itu hendaknya dia beriddah 4 bulan 10 hari.
عن عمر رضي الله عنه قال : أيما امرأة فقدت زوجها لم ندر أين هو فإنها تنتظر
أربعة سنين ثم تعتد أربعة أشهر وعشرا ثم تحل.
Artinya:
“Dari Umar R.A berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak
mengetahui dimana ia berada sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu 4 tahun,
kemudian hendaknya ia beriddah 4 bulan 10 hari barulah ia boleh menikah. (H.R
Malik).
5.
Iddah perempuan yang di Ila’
Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia
harus menjalani iddah atau tidak.
a.
Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa
ia harus menjalani Iddah.
b.
Zabir bib Zaid berpendapat
bahwa ia tidak wajib iddah.
Perbedaan pendapat ini di sebabkan iddah itu menghabungkan antara
iddah dan maslahat bersama-sama. Oleh karena itu bagi fuqoha’ yang lebih
memperhatikan segi kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah,
sedangkan fuqoha’ yang lebih mempewrhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan
iddah atasnya.
D. Hikmah di Syari’atkannya Iddah
a.
Sebagai Pembersih Rahim,
Ketegasan penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal
yang amat penting. Oleh karena itu segala ketentuan untuk menghindari
terjadinya kekacauan nisab keturunan manusia ditetapkan di dalam Al Qur'an dan
As Sunnah dengan tegas. Diantara ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita
untuk menikah dengan beberapa orang pria dalam waktu yang bersamaan. Dan disamping itu untuk menghilangkan keraguraguan
tentang kesucian rahim perempuan tersebut, sehingga pada nantinya tidak ada
lagi keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh perempuan itu apabila ia
telah kawin lagi dengan laki-laki yang lain.
b.
Kesempatan untuk berfikir,
Iddah khususnya dalam talak ra’ji merupakan suatu
tenggang waktu yang memungkinkan tentang hubungan mereka. Dalam masa ini kedua
belah pihak dapat mengintropeksi diri masing-masing guna mengambil
langkah-langkah yang lebih baik. Terutama bila mereka telah mempunyai
putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang
tuanya.36 Disamping itu memberikan kesempatan berfikir kembali dengan pikiran
yang jernih setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang
demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. Kalau pikiran
mereka telah jernih dan dingin diharapkan pada nantinya suami akan merujuk
istri kembali dan begitu pula si istri tidak menolak untuk rujuk dengan
suaminya kembali. Sehingga perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
c.
Kesempatan untuk bersuka cita
Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka
atau bela sungkawa atas kematian suaminya. Cerai karena mati ini merupakan
musibah yang berada di luar kekuasaan manusia untuk membendungnya. Justru itu
mereka telah berpisah secara lahiriyah akan tetapi dalam hubungan batin mereka
begitu akrab.38 Jadi apabila perceraian tersebut karena salah seorang suami
istri meninggal dunia, maka masa iddah itu adalah untuk menjaga agar nantinya
jangan timbul rasa tidak senang dari pihak keluarga suami yang ditinggal, bila
pada waktu ini si istri menerima lamaran ataupun ia melangsungkan
perkawinan baru dengan laki-laki lain.
d.
Kesempatan untuk rujuk,
Apabila seorang istri dicerai karena talak yang mana
bekas suami tersebut masih berhak untuk rujuk kepada bekas istrinya. Maka masa
iddah itu adalah untuk berpikir kembali bagi suami untuk apakah ia akan kembali
sebagai suami istri. Apabila bekas suami berpendapat bahwa ia sanggup mendayung
kehidupan rumah tangganya kembali, maka ia boleh untuk merujuk kembali istrinya
dalam masa iddah. Sebaliknya apabila suami berpendapat bahwa tidak mungkin
melanjutkan kehidupan rumah tangga kembali, ia harus melepas bekas istrinya
secara baik-baik dan jangan menghalang-halangi bekas istrinya itu untuk kawin
dengan laki-laki lain.
E. Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
Fuqoha’
telah sepakat dalam masa iddah tala’ roj’i berhak mendapat nafkah dan tempat
tinggal. Istri-istri yang di talak dalam keadaan hamil masih berhak mendapat
nafkah dan tempat tinggal.
Firman
Allah SWT:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ
لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ
حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (الطلاق : 6)
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin” (Q.S. At-Thalaq :6)
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.
Iddah berasal dari kata Adad
yang artinya menghitung maksudnya adalah perempuan menghitung hari-harinya dan
masa bersihnya. Menurut istilah
yaitu lamanya perempuan (Istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian
suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya.
b.
Terdapat beberapa macam iddah,
yaitu: idaah talak, iddah hamil, iddah wafat, iddah wanita yang kehilangan
suami, dan Iddah perempuan yang di Ila’.
c.
Hikmah di syari’atkannya iddah, antara lain: Sebagai
pembersih rahim, kesempatan untuk berfikir, kesempatan untuk bersuka cita, dan
kesempatan untuk rujuk.
d.
Dan ada beberapa hak dan
kewajiban suami istri pada masa iddah.
DAFTAR PUSTAKA
Labib Mz dan Aqis
Bil Qisth, Risalah Wanita, BINTANG
USAHA JAYA, Surabaya, 2005
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 2, CV. PUSTAKA SETIA,
Bandung,1992
Langganan:
Postingan (Atom)