Senin, 17 Juni 2013

LI'AN



MAKALAH
LI’AN
Diajukan  untuk memenuhi tugas mandiri dalam  mata kuliah Fiqh Munakahat II
                   DOSEN           : DUL MANAN, S.Ag





                                                            Di susun oleh:
   
                                                 NAMA    : DEWI PURNAMASARI






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
 MA’ARIF NU METRO LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2013/2014







BAB 1
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
          Kehidupan suami istri adakalanya berlangsung dengan tentram dan damai,apabila keduanya saling kasih sayang dan pihaknya menjalankan kewajiban dengan baik. Namun tidak jarang juga timbul perselisihan sehingga tidak tampak keharmonisan dalam keluarga,bahkan sulit diselesaikan dengan baik dan damai. Seperti halnya maalah li’an. Yakni seorang suami menuduh istrinya berzina dengan laki-laki lain. Ketia seorang suami menuduh istrnya berzina maka seorang suami harus dapat mendatangkan saksi agar tuduhannya tersebut tidak dianggap dusta. Jika benar istri telah berzina,maka suami bekewenangan untuk menceraikan sang istri,karena istri sudah merusak batasan alloh dalam sebuah pernikahan. Berikut akan dibahas tentang suami istri yang berli’an dan akibat hukumnnya.

2.Pengertian
            Li’an secara bahasa adalah laknat,sebab suamiistri yang berlian (bersumpah atas nama alloh) akan dilaknat alloh,jika salah satu diantaranya dusta. Li’an secara istilah berarti sumpah seorang suami dimuka hakim bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain.yakni sumpah tersebut dengan menggunakan kalimat “demi alloh” sebanyak empat kali dan yang kelima kalinya adalah “dilaknat alloh jika saya dusta” li’an terjadi disebabkan  suami tidak dapat mendatangkan empat orang saksi. Terhadap tuduhanya kepada istrinya oleh sebab itu mereka harus bersumpah.

3. Rumusan Masalah
     1. apa pengertian li’an secara bahasa dan istilah ?
     2. bagaimana akibat hokum li’an bagi suami istri yang berli’an ?
     3. apa saja dalil tentang li’an







BAB 11
PEMBAHASAN
PERCERAIAN KARENA LI’AN DAN AKIBAT HUKUMANYA

1.      Pengetian dan hokum li’an

     Li’an berasal dari kata ”la’ana”       ,yang artinya laknat,sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat  “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.
     Menurut istilah syara’,li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina.jadi,suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak menegemukakan saksi ,kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Namun tuduhan itu ditangkis oleh istr dengan jalan bersumpah pula,bahwa apa yang dituduhkan oleh suami atas dirinya adalah dusta belaka. Dasar wajibnya li’an adalah al-qur’an dan hadits.
Firman alloh dalam QS. Annur:6-9 adalah :










Artinya: dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahaldia tidak mempunyai saksi-saksi selain dari mereka sendiri,maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama alloh  sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.dan ( sumpah ) yang kelima laknat alloh atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hokum alloh oleh sumpahnya,empat kali atas nama alloh sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat alloh atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.

Sedangkan hadis yang menjadi dasar adalah HR.imam malik dan imam-imam yang meriwayatkan hadis shahih dari hadis ‘uwaimir al-ajlani “apabila suami tidak dapat mendatangkan empat saksi orang laki-laki maka ia harus bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa dirinya benar,dan pada kelima kalinya ia mengucapkan “bahwa ia akan dilaknat oleh alloh jika tuduhan itu dusta”.
Kemudian jika istri akan menyanggah tuduhan tersebut,maka ia harus bersumpah empat kali juga. Dan pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat alloh jika ternyata ucapan suaminya itu benar.

Praktik li’an yang dilakukan suami dengan bersumpah atas nama allohsampai empat kali dengan mengucapkan: “aku bersumpah dengan allohdemi alloh bahwasanyya saya adalah benar atas tuduhan saya kepada istri saya yang bernama ……. bahwa dia benar-benar berbuat zina”. Kemudian kelima kalinya ia mengucapkan sumpah yang berbunyi  “dilaknat alloh jika saya berdusta”.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa li’an itu pada dasarnya ada dua macam:
1.      Suami menuduh istri berizina,dan ia tidak memiliki empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu.
2.      Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil benih persetubuhannya.


2.      Penetapan Hukum Li’an
     Apabila terjadi suami menuduh istrinya berbuat zina ,tetapi ia tidak mengakuinya dan suami tidak mau mencabut tuduhanya itu,maka alloh membolehkan mereka untuk mengadakan li’an. Li’an merupakan ketentuan yang sah menurut al-qur’an,sunnah,ijma’ dan qias.
Tentang masa berangsungnya hokum li’an ,jumhur fuqaha berpendapat bahwa li’an berlangsung hingga ber akhirnya masa mengandung terpanjang,sesuai dengan silang pendapat  mereka tentang masalah ini.
     Fuqaha zahiri berpendapat bahwa : batas terpendek masa mengandung yang mewajibkan hokum li’an seperti umumnya masa mengandung yaitu masa yang mendekati Sembilan bulan. Dikalangan fuqaha juga tida diperselisihkan  bahwa hokum li’an itu wajib dalam masa ishamah. Selebihnya adalah menurut masa mengandung  terpendek /selama 6 bulan yakni pada saat anak itu lahir.dalam masa 6 bulan sejak waktu dukhul,atau dari watu suami menyetubuhi,bukan dari waktu akad nikah.





3.      Istri Hamil Sesudah Li’an

     Apabila istri yang dituduh itu hamil sesudah li’an,dalam hal ini ada dua  pendapat yang diriwayatkan oleh imam malik.
Pertama terlepasnya suami dari kandungan istri.
Kedua dilihatkannya nasab anak yang dikandung kepadanya.


4.      Mengingkari Kandungan

     Jika suami mengingkari kandungan maka dalam hal ini terdapat dua persolan,yaitu suami mengaku bahwa ia telah mengistibra’kan istrinya dan tidak menggaulinya sesudah istibra’. Hal ini tidak diperselisihkan oleh fuqaha.

Kemudian masalah waktu untuk mengingkari kandungan jumhur ulama berpendapat bahwa suami boleh mengingkarinya ketika istrinya hamil. Imam malik mensyaratkan bahwa apabila suami tidak mengingkari kandungan pada masa kehamilan,maka ia tidak boleh mengingkarinya sesudah kelahiran dengan li’an.

5.      Penolakan untuk bermula’anah

Suami/istri adakalanya menolak untuk bermula’anah. Jika suami yang menuduh istrinya berbuat zina,dan tidak dapat mengajukan saksi kemudian tidak mau mengucapkan li’an, maka ia wajib dijatuhi hukuman had. Itulah pendapat imam madzhab yang 3.
Sedangkan imam abu hanifah,berpendapat bahwa suami tidakwajib dijatuhi hukuman had tetapi ia dipenjara sampaimau mengucapkan li’an,atau mau mencabut tuduhanya. Jika ia mencabut tuduhan,yang berarti mendustakan ucapan semula, maka ia wajib dikenai hukuman had. Jika istrinya menolak mengucapkan li’an,ia juga wajib dijatuhi hukuman had.
     Dalam hubungannya dengan masalah ini,pendapat abu hanifah dianggap lebih tepat. Bahkan abu ma’ali seorang ulama aliran syafi’I, dalam kitabnya al burhan mengakui kekuatan pendapat imam abu hanifah dalam masalah tersebut.
6.      Akibat hokum li’an

Usman al-batti dan segolongan ulama basrah mengatakan bahwa li’an tidak mengakibatkan perpisahan diantara  suami istri. Mereka mengemukakan alas an bahwa perpisahan itu tidak termuat dalam ayat li’an. Dan tidak pula dijelaskan dalam hadis li’an. Lagipula li’an disyari’atkan untuk menghindarkan  hukuman had karena menududh berzina. Oleh karena itu, li’an tidak mewajibkan pengharaman karena dipersamakan dengan bukti.
Jumhur ulama mengemukakan alas an bahwa pada dasarnya diantara keduanya telah terjadi  pemutusan hubungan ,saling membenci ,saling memperturutkan hawa nafsu dan merusak batasan-batasan alloh SWT.
Mengenai kapan perceraian itu diwajibkan, imam malik al-lais dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa perpishan itu terjadi apabila keduanya sudah selesai mengadukan li’an.Imam syafi’I berpendapat,jika suami telah selesai menyelesaikan li’an-nya, maka perpisahanpun telah terjadi.
Sedangkanimamabu hanifah berpendapat, bahwa perpisahan itu tidak terjadi kecuali berdasarkan keputusan dari hakim. Alas an yang dikemukkan imam malik terhadap imam syafi’I adalah hadis ibnu umar ra. :





Artinya : ibnu umar berkata, bahwa rosululloh saw memisahkan diantara dua orang yang berli’an. Kemudian bersabda “perhitungan kalian terserah kepada alloh,salah seorang diantara kamu berdua teleh berdusta ,maka tidak ada jalan bagimu kepadanya.

     Silang pendapat diantara fuqaha yang menyatakan bahwa perpisahan terjadi dengan li’an  dengan fuqaha yang tidak berpendapat demikian,disebabkan adanya ketidak jelasan tentang pemisahan yang dilakukan oleh nabi saw terhadap kedua suami istri didalam hadis yang mashur itu,kurang jelas keterangannya. Karena (didalam hadis tersebut) disebutkan bahwa lelaki itu sendirilah yang memulai menalak istrinya. Sebelum nabi saw memberitahukan kepadanya tentang wajibnya terjadi perpisahan.
     Menurut aturan pokok,tidak ada perpisahan kecuali dengan talak dan didalam syara’ tidak ada pengharaman (untuk berkumpul kembali) yang bersifat abadi,yang disepakati oleh semua fuqaha.
Imam malik dan syafi’I berpendapat bahwa pepisahan tersebut merupakan talak ba’in.sebab perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah adakeputusan dari hakim.

1). Akibat sumpah li’an bagi suami istri
           Pelaksanaan hokum li’an sangat memberatkan dan menekan perasaan baik bagi suami maupun istri yang sedang dalam perkara li’an ini.karena :
a.    Karena bilangan sumpah li’an
b.    didekat mimbar.
c.     Karena sumpah itu dilakukan dihadapan jama’ah sekurang-kurangnya berjumlah empat orang.

Disamping itu pengaruh lainnya akibat li’an adalah :
Terjadinya perceraian antara suami istri.Bagi suami maka istrinya menjadi haram untuk selamanya.Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan anak yang ada dalam  kandungannya,maka anak itu dihikumkan tidk termasuk keturunan suaminya.
Rosululloh bersabda :








Artinya : “dari ibnu abbas ra. Bahwa ia telah berkata,dalam hadis dua orang yang telah menuduh (suami istri), “dan telah menghukum rosululloh saw,bahwa tidak ada tempat kediaman yang hak baginya (istri) yang wajib atasnya (suami),dan tidak pula makanan wajib diberikan sumi,karena keduanya telah bercerai. Bukan karena talak,dan bukan pula karena suaminya meningga. (HR. abu daud).



2). Akibat sumpah li’an dari segi hokum
Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri  yaitu:
a.      gugur had atas istri sebagai had zina
b.      wajib hadatas istri sebagai had zina
c.       suami istri bercerai untuk selamanya
d.      ditetapkan berdasarkan pengakuan suami, bahw dia tidak mencampuri istrinya.









KESIMPULAN

Li’an berasal dari kata ”la’ana”       ,yang artinya laknat,sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat  “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.
Fuqaha zahiri berpendapat bahwa : batas terpendek masa mengandung yang mewajibkan hokum li’an seperti umumnya masa mengandung yaitu masa yang mendekati Sembilan bulan. Dikalangan fuqaha juga tida diperselisihkan  bahwa hokum li’an itu wajib dalam masa ishamah. Selebihnya adalah menurut masa mengandung  terpendek /selama 6 bulan yakni pada saat anak itu lahir.dalam masa 6 bulan sejak waktu dukhul,atau dari watu suami menyetubuhi,bukan dari waktu akad nikah.


 


DAFTAR PUSTAKA


                Aminudin.slamet abiding.FIQH MUNAKAHAT 2.1999.CET 1 CV. Pustaka setia
.
            Muhammad abu bakar.SUBULUSSALAM.1995.CET 1.surabaya: Al-ikhlas.














































Iddah



MAKALAH
IDDAH


Diajukan  untuk memenuhi tugas mandiri dalam  mata kuliah Fiqh Munakahat II










                DOSEN   : DUL MANAN, S.Ag











   NAMA

NPM
                      HARI WIBOWO
                   KHOMSATUN
10110008
10110009



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
 MA’ARIF NU METRO LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2013/2014











KATA PENGANTAR

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT. atas segala rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan waktu bagi saya dalam menyusun tugas  ini. Makalah ini ditulis penulis sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Fiqh Munakahat II. Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Tiada manusia yang sempurna, begitupun dengan makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri, saya ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


Metro, 6  Mei 2013
Penulis



DAFTAR ISI

Halaman Judul                                                                                                     i
Kata Pengantar.............................................................................................        ii
Daftar Isi......................................................................................................        iii
Bab I Pendahuluam
A.    Latar belakang..................................................................................        1
B.     Rumusan masalah.............................................................................        1
Bab II Pembahasan
A.  Pengertian Iddah..............................................................................        2
B.  Dasar Hukum Iddah.........................................................................        2
C.  Macam-macam Iddah.......................................................................        4
D.  Hikmah di Syari’atkannya Iddah.....................................................        7
E.   Hak dan Kewajiban Suami Istri pada masa Iddah...........................        9
Bab III Penutup
A.     Kesimpulan.....................................................................................        10
Daftar Pustaka







BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

Dewasa ini sering kita jumpai berbagai macam model perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Baik itu nikah secara resmi, nikah sirih, dan lain-lain. Dalam hal ini tentu banyak kekeliruan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang kemudian tidak nampak karena mungkin sengaja disembunyikan atas dorongan hawa nafsu ataukah mungkin karena kurangnya ilmu pengetahuan tentang hal tersebut.
Islam kemudian mengajarkan kepada kita sekalian tentang praktek-praktek mulai dari masa ta’arufan, peminangan, pelaksanaan perkawinan, sampai kepada perceraian atau putusnya perkawinan apabila tidak mampu lagi mempertahankan rumah tangga karena sesuatu hal.
Salah satu yang sering dilupakan ketika seorang pria ingin menikahi seorang wanita yang baru saja melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang isteri dari pria lain yaitu iddah (masa tangguhan).
Anjuran syariat untuk beriddah tentu mempunyai alasan dan hikmah dibalik anjuran tersebut, yang kemudan akan dibahas pada paembahasan selanjutnya dalam makalah ini.
B.      Rumusan Masalah
1.       Apakah pengertian iddah?
2.       Apa dasar hukum iddah?
3.       Apa saja maca-macam iddah?
4.       Apa hikmah disyari’atkannya iddah?
5.       Apa hak dan kewajiban suami istri dalam masa iddah?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Iddah
Iddah berasal dari kata Adad yang artinya menghitung maksudnya adalah perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut istilah yaitu lamanya perempuan (Istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya. Iddah sudah di kenal juga pada zaman jahiliyah mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah tatkala islam datang kebiasaan itu di akui dan tetap di jalankan karena ada beberapa kemaslahatan di dalamnya. Para ulma’ bersepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya. Karena Allah berfirman:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثه قروء........ (البقرة : 228)
Artinya: “wanita yang di tholak hendaknya menahan diri menunggu (tiga kali kuru’)”…. (al-Baqoroh [2]: 228)
Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais:
وقوله صلى الله عليه وسلم لفاطنة بنت قيش : إعتدي في بيت ابن أم مكتوم
Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ibnu ummi maktum”….


B.      Dasar Hukum Iddah
Setelah membahas masalah iddah dari segi pengertian, maka di bawah ini penyusun membahas dasar-dasar hukum iddah yang mengacu pada hukum naqli guna memperjelas tentang iddah itu sendiri.



1.       Dasar dari Al Qur'an
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاث  قروء ولا يحل لهن ان يكتمن ما خلق الله في ارحامهن ان كن يوءمن بالله واليوم الاخر وبعولتهم احق بردهن في ذالك ان ارادوا اصلاحا ولهن مثل الذي عليهن بالمعرف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم.
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah : 228)
            Ayat di atas walaupun sebenarnya telah dinasakh oleh ayat yang kemudian, akan tetapi kandungan dari hukum ayat tersebut tetaplah dipakai dan dipergunakan sebagai dalil hukum dalam penetapan hukum Islam syara’ yang berkenaan dengan masalah iddah istri.
2.       Dasar hadist
            Hadits dari Bukhari dan Muslim yang berbunyi :
وعن ابي مسعود البدري رضي الله عنه عن النبي صلعم قال : انفق الرجل علي اهله يحتسبها فهوا له صدقة

Dari Abu Mas'ud Al Badry ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda "Apabila seseorang menafkahkan harta untuk keperluan keluarga, hanya berharpa dapat memperoleh pahala maka hal itu akan dicatat sebagai sedekah baginya."
3.       Dasar Hukum Perdata
            Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan. Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut :
Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Ayat (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39.Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dalam menentukan waktu tunggu sebagai berikut : Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla ardhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Demikian pula dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu iddah.

C.      Macam-Macam Iddah
1.       Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang berada dalam iddah talak antara lain:
a.       Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’).
Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة : 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Mengenai quru’ para ulama’ fiqih berpendapat berbeda-beda:
1.    Fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu artinya suci yaitu masa diantara haid.
2.    Fuqaha lain berpendapat bahwa quru’ itu haid, terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-tsauri Al-Auzali, Ibnu Abi Laila. Alasanya adalah untuk mengetahui kolongnya rahim, tidak hamil bagi wanita yang di talak, sedangkan kekosongan rahim hanya di ketahui dengan haid.
3.    Fuqaha Anshor berpendapat bahwa quru’ adalah suci terdiri dari Imam Mahit dan Syaf i’. alasanya adalah menjadi pedoman bagi kosongnya rahim dimana masa suci pada haid bukan bukan berarti berpegang pada haid terakhir maka tiga yang di syaratkan harus lengkap masa suci diantara 2 haid.
Nabi SAW bersabda:
Artinya: “suruhlah dia, hendaklah ia merujuk istrinya sehinggah ia haid, kemudian suci kemudian haid lagi kemudian menceraikanya juka mau sebelum ia menyentuhnya. Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Alloh SWT untuk menceraikan istri”.
b.      Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum baligh atau perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya 3 bulan.
Artinya: “Dan (pr) yang putus asa dari haid diantara (pr) jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka untuk tiga bulan, dan begitu pula (pr) yang tidak haid.” (Q.S. At Talak : 28 :4)
c.       Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada iddahnya. Firman Allah SWT :
Artinya: ‘’Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan@ yang beriman, kemudian k-moe ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimoe yang kamu minta menyempurnakanya (Q.S Al Ahzab (22):49)
Jika perempuan belum pernah di setubuhi dan di tinggal mati maka iddahnya seperti iddahnya orang telah di setubuhi’’. Firman Allah SWT :
والذين يتوفّون منكم ويذرون ازوجا يتربصن بانفسهنّ اربعة اثهر وعشرا
Artinya: “orang-orang yang meniggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri untuk 4 bulan 10 hari(hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)
2.       Iddah Hamil
Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan. Firman Allah SWT :
واولت للأجمال اجملهن ان يضعن حملهنّ ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا (الطلاق :4)
Artinya: “dan (pr yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandunganya. dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh menjadikan baginya kemudian dalam urusnya”. (Q.S. At-talaq 28 : 4)
Contoh :
Apabila ia hamil dengan anak kembar maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua jika (pr) itu keguguran maka iddahnya ialah: sesudah melahikan baik baginya hidup, mati, sempurna badanya / cacat, ruhya telah ditiup /belum.
3.       Iddah Wafat
Adalah: Iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة : 234)
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqoroh: 234)



4.       Iddah wanita yang kehilangan suami.
Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di menunggu selama 4 tahun lamanya sesudah itu hendaknya dia beriddah 4 bulan 10 hari.
عن عمر رضي الله عنه قال : أيما امرأة فقدت زوجها لم ندر أين هو فإنها تنتظر أربعة سنين ثم تعتد أربعة أشهر وعشرا ثم تحل.
Artinya: “Dari Umar R.A berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana ia berada sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu 4 tahun, kemudian hendaknya ia beriddah 4 bulan 10 hari barulah ia boleh menikah. (H.R Malik).
5.       Iddah perempuan yang di Ila’
Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani iddah atau tidak.
a.       Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa ia harus menjalani Iddah.
b.      Zabir bib Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah.
Perbedaan pendapat ini di sebabkan iddah itu menghabungkan antara iddah dan maslahat bersama-sama. Oleh karena itu bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha’ yang lebih mempewrhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan iddah atasnya.

D.      Hikmah di Syari’atkannya Iddah
a.       Sebagai Pembersih Rahim,
Ketegasan penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat penting. Oleh karena itu segala ketentuan untuk menghindari terjadinya kekacauan nisab keturunan manusia ditetapkan di dalam Al Qur'an dan As Sunnah dengan tegas. Diantara ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita untuk menikah dengan beberapa orang pria dalam waktu yang bersamaan. Dan disamping itu untuk menghilangkan keraguraguan tentang kesucian rahim perempuan tersebut, sehingga pada nantinya tidak ada lagi keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh perempuan itu apabila ia telah kawin lagi dengan laki-laki yang lain.
b.      Kesempatan untuk berfikir,
Iddah khususnya dalam talak ra’ji merupakan suatu tenggang waktu yang memungkinkan tentang hubungan mereka. Dalam masa ini kedua belah pihak dapat mengintropeksi diri masing-masing guna mengambil langkah-langkah yang lebih baik. Terutama bila mereka telah mempunyai putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang tuanya.36 Disamping itu memberikan kesempatan berfikir kembali dengan pikiran yang jernih setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. Kalau pikiran mereka telah jernih dan dingin diharapkan pada nantinya suami akan merujuk istri kembali dan begitu pula si istri tidak menolak untuk rujuk dengan suaminya kembali. Sehingga perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
c.       Kesempatan untuk bersuka cita
Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau bela sungkawa atas kematian suaminya. Cerai karena mati ini merupakan musibah yang berada di luar kekuasaan manusia untuk membendungnya. Justru itu mereka telah berpisah secara lahiriyah akan tetapi dalam hubungan batin mereka begitu akrab.38 Jadi apabila perceraian tersebut karena salah seorang suami istri meninggal dunia, maka masa iddah itu adalah untuk menjaga agar nantinya jangan timbul rasa tidak senang dari pihak keluarga suami yang ditinggal, bila pada waktu ini si istri menerima lamaran ataupun ia melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.

d.      Kesempatan untuk rujuk,
Apabila seorang istri dicerai karena talak yang mana bekas suami tersebut masih berhak untuk rujuk kepada bekas istrinya. Maka masa iddah itu adalah untuk berpikir kembali bagi suami untuk apakah ia akan kembali sebagai suami istri. Apabila bekas suami berpendapat bahwa ia sanggup mendayung kehidupan rumah tangganya kembali, maka ia boleh untuk merujuk kembali istrinya dalam masa iddah. Sebaliknya apabila suami berpendapat bahwa tidak mungkin melanjutkan kehidupan rumah tangga kembali, ia harus melepas bekas istrinya secara baik-baik dan jangan menghalang-halangi bekas istrinya itu untuk kawin dengan laki-laki lain.

E.       Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
Fuqoha’ telah sepakat dalam masa iddah tala’ roj’i berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Istri-istri yang di talak dalam keadaan hamil masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal.
Firman Allah SWT:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (الطلاق : 6)
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin” (Q.S. At-Thalaq :6)



BAB III
PENUTUP
1.         Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.         Iddah berasal dari kata Adad yang artinya menghitung maksudnya adalah perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut istilah yaitu lamanya perempuan (Istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya.
b.        Terdapat beberapa macam iddah, yaitu: idaah talak, iddah hamil, iddah wafat, iddah wanita yang kehilangan suami, dan Iddah perempuan yang di Ila’.
c.         Hikmah di syari’atkannya iddah, antara lain: Sebagai pembersih rahim, kesempatan untuk berfikir, kesempatan untuk bersuka cita, dan kesempatan untuk rujuk.
d.        Dan ada beberapa hak dan kewajiban suami istri pada masa iddah.



DAFTAR PUSTAKA

Labib Mz dan Aqis Bil Qisth, Risalah Wanita, BINTANG USAHA JAYA, Surabaya, 2005
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 2, CV. PUSTAKA SETIA, Bandung,1992